Banyak Kekerasan Terhadap Perempuan, Kapan RUU-PKS Disahkan?

Penulis: Ananul Nahari Hayunah | Aktif di LAPSI PP IPM, Ketua Umum PK IMM Ushuluddin Ciputat

Kasus kekerasan terhadap perempuan tak kunjung usai. Bahkan berdasarkan data yang banyak kita temukan malah meningkat apalagi di masa pandemi ini. Bagi yang memantau kasus-kasus yang terjadi, pasti miris sekali melihat kejadian yang begitu mengerikan terjadi terus-menerus. Namun sebagian orang, mungkin, yang tidak memantau kejadian ini, pasti akan merasa bahwa dunia ini baik-baik saja. Apalagi ketika bicara kekerasan seksual yang masih dirasa tabu untuk dibicarakan. Dan nyatanya kasus kekerasan terhadap perempuan tak banyak dipublikasi atau memang sengaja tidak dipublikasi untuk menjaga perasaan korban.

Dilansir dari Majalah Tempo, Komisi Nasional Anti Kekeraan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat laporan tentang kekerasan terhadap perempuan meningkat sejak pandemi covid-19. Bentuk kekerasan yang dialami bukan hanya fisik, tetapi juga psikis, seksual hingga kekerasan ekonomi. Sejak awal pagebluk, Komnas Perempuan bahkan sudah memprediksi peningkatan tersebut bakal terjadi.

“Akan ada lonjakan (jumlah) kekerasan dalam rumah tangga, meskipun ada anomali dalam pelaporan” begitu kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam wawancara khusus dengan Tempo pada tengah tahun ini, tanggal 31 Agustus.

Belum lagi, kasus kekerasan terhadap perempuan di internet juga mengalami kenaikan tiga kali lipat di masa pandemi covid-19. Berdasarkan data dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan menunjukkan ketika pandemi belum terjadi, LBH APIK menerima 30 laporan kekerasan lewat digital per bulan. Namun setelah terjadi pandemi ini, kasus yang dilaporkan melonjak menjadi 90 pengaduan tiap bulan.

16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Pernahkah Rahmania mendengar 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan?

16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau bisa disingkat 16HAKTP adalah sebuah kampanye yang pada awalnya merupakan; kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Agenda ini pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute pada tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.

Di Indonesia sendiri, Komnas Perempuan juga terus mengkampanyekan dan mengajak komponen masyarakat setiap tahunnya untuk ikut melakukan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP). Agenda ini dilakukan setiap tanggal 25 November sampai 10 Desember.

16HAKTP berlangsung pada tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Rentang waktu tersebut dipilih dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.

Agenda ini merupakan bentuk dari salah satu mandat Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk meningkatkan kesadaran publik bahwa hak perempuan adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Tentu Rahmania tau bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran bagi Hak Asasi Manusia.

Rahmania juga tentu tau bahwa usaha penghapusan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan kerja bersama dan sinergi dengan berbagai lapisan masyarakat untuk bergerak secara serentak. Baik aktivis HAM Perempuan, pemerintah, maupun masyarakat secara umum. Maka tentu 16HAKTP adalah salah satu peringatan untuk mengeraskan suara bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM.

Namun tidak hanya di 16 hari saja, kampanye tentang kekerasan terhadap perempuan harus terus digaungkan; sampai tidak lagi terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM ini.

Data Kekerasan Seksual

Data Komnas Perempuan sepanjang tahun 2011 hingga 2019, tercatat 46.698 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal maupun publik. Kasus yang terjadi berupa perkosaan (9.039 kasus), pelecehan seksual (2.861 kasus), cyber crime bernuansa seksual (91 kasus), dan masih banyak lagi. Ini baru sampai tahun 2019, sedangkan pada tahun 2020 sudah diperkirakan naik drastis. Saya mengakses data ini dari dari Komnas Perempuan yang disampaikan dalam diskusi yang diadakan PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta. Namun bisa juga diakses di website Komnas Perempuan, bahkan sangat mudah dalam Catatan Tahunan tentang kasus ini.

Data ini adalah data terlapor. Dan yakin saja pasti masih banyak kasus yang tersembunyi yang tidak dilaporkan oleh korban atau malah dikekang untuk tidak melaporkannya. Kasus seperti ini layaknya fenomena gunung es. Hanya sebagian saja yang terlapor, padahal masih banyak yang tertutupi.

Hal ini tentu menunjukkan bahwa tiadanya perlindungan dan keamanan terhadap perempuan. Bahkan mungkin bisa dibilang pembiaran oleh negara.

Tempat terjadinya kekerasan juga beragam, baik di dalam rumah (pelakunya bisa saja saudara, ayah, paman, kakek dan yang tidak terduga lain); di luar rumah atau tempat publik (bisa saja di jalan, dalam kendaraan umum, pasar dan tempat lainnya). Kasus kekerasan seksual juga bisa dilakukan di lembaga pendidikan (seperti sekolah, pergurusn tinggi, pesantren, asrama, dan lainnya); dan bisa pula di tempat beraktifitas (kantor, organisasi, lokasi pelatihan dan lainnya). Mengerikan bukan?

Mari Iqra’ RUU-PKS!

Dalam wawancara yang dilakukan Majalah Tempo kepada Ketua Komnas Perempuan menyebutkan data yang mengatakan bahwa; Komnas Perempuan menerima lebih dari 900 pengaduan sejak Januari sampai Mei 2020. Padahal angka pada tahun sebelumnya nya berkisar 100-an pengaduan. Terlepas dari angka yang tak bisa kita hiraukan ini, Ketua Komnas Perempuan menyoroti cara membaca data yang selalu membandingkan jumlah pelaporan kasus dari tahun-ke tahun. Tentu saja hal ini kurang pas. Harusnya memang melihat sampai mana menuntasan kasus sampai ke pengadilan. Sampai mana keadilan diperoleh bukan malah mengumpulkan kasus saja.

Kata Ketua Komnas Perempuan, penuntasan kasus hingga ke pengadilan memang belum maksimal. “Bangunan hukum di Indonesia belum bisa mendengarkan korban dengan baik” ujarnya.

Hingga saat ini, penuntasan kasus kekerasan terhadap perempuan masih banyak yang belum tuntas. Lihat saja kasus-kasus yang berakhir damai lewat jalur kekeluargaan, padahal kekerasan seksual adalah sebuah perbuatan kriminali yang jahat dan sangat merugikan korban. Harus ada keadilan bagi korban, dan harus ada hukuman bagi pelaku. Namun nyatanya benarlah kata Ketua Komnas Perempuan, kasus semacam ini memang belum ada hukum yang kuat memayunginya.

Masihkah ada pihak yang mengatakan RUU-PKS tidak perlu disahkan? Di manakah hati pihak-pihak tersebut kiranya?

Kalaulah masih belum mengerti dan sayapun masih harus banyak belajar, mari iqra’ RUU-PKS ini. Tolong baca RUU-PKS yang sudah disusun bertahun-tahun itu. RUU yang sampai saat ini belum juga disahkan oleh DPR bahkan dikeluarkan dari Prolegnas tahun ini. Kok ya masih ada gitu loh yang menampik kasus-kasus itu, saya pun terheran.

Baca dan lihat kasus-kasus yang semakin hari semakin banyak dan mungkin akan bertambah. Lihatlah korban tanpa bisa mendapatkan keadilan. Lihat pelaku yang masih ketawa haha hihi sedangkan korbannya semakin berjatuhan. Ingatlah bahwa semua orang bisa jadi korban dan juga pelaku, bahkan orang-orang terdekat kita sekalipun. Bisa jadi teman kita, sahabat kita, anak kita, ibu kita, saudari kita, bahkan kita sendiri bisa jadi korban dari kekerasan. Semoga saja kita semua dijauhkan dari hal mengerikan ini.

Jadi kapan mau disahkan RUU-PKS ini Bu Puan?

Kalau teman-teman enggan membaca, bisa buka youtube, mengikuti diskusi dan lainnya. Lihat betapa banyak orang yang memperjuangkan RUU-PKS untuk mendapatkan keadilan bagi para korban. Silahkan simak diskusi-diskusi dari Pusat Studi Islam dan Pengembangan Perempuan (PSIPP) Institut Teknologi Ahmad Dahlan yang marak membahas tentang hal ini. Baca website resmi Komnas Perempuan atau tulis dalam kolom pencarian google terkait kenapa RUU-PKS ini penting untuk disahkan.

Jangan menutup mata, atau malah bagi yang belum membaca RUU-PKS lalu karena golongannya menolak, lalu ikut-ikutan saja. Ingatlah bahwa perintah dari Allah yang turun ke Nabi Muhammad saw adalah perintah untuk membaca. Iqra’!Bacalah.

Lalu untuk DPR RI, teruntuk khusus Ketua DPR RI, Ibu Puan Maharani; jadi kapan Bu Puan mau mengetok palu untuk mengesahkan RUU-PKS ini? Jadi kapan RUU-PKS ini disahkan? Para korbannya banyak kaum perempuannya loh, sama seperti Bu Puan Maharani yang memiliki rahim. Dan sama juga seperti Bu Puan serta pejabat lainnya yang butuh keamanan, kebahagiaan, kesejahteraan, serta keadilan.

Sumber: https://rahma.id/banyak-kekerasan-terhadap-perempuan-kapan-ruu-pks-disahkan/

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *