Lebaran dan HAK PRT
Lebaran sebentar lagi tiba. Takbir kemenangan segera akan dikumandangkan. Lebaran biasanya identik dengan silaturahim, mudik, dan yang tak kalah pentingnya adalah tunjangan hari raya. Tunjangan hari raya (THR) senantiasa dinantikan banyak pekerja dari berbagai sektor, baik formal maupun nonformal, termasuk pekerja dalam rumah tangga (PRT) kita. Pertanyaannya adalah sudahkah kita memberikan kemenangan kepada PRT kita dengan cara menunaikan kewajiban memberikan hak THR bagi mereka?
PRT adalah seseorang yang sangat integral dalam kehidupan keluarga hampir mayoritas masyarakat perkotaan di Indonesia. Meski peranannya sangat penting, keberadaan dan jasa mereka sering kali diabaikan. Profesi PRT acap kali disepelekan dan dipandang sebelah mata. Kemiskinan dan sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan telah memaksa banyak perempuan desa menjadi PRT.
Jumlah PRT di Indonesia sangat tinggi dan ia merupakan sumber utama ekonomi keluarga miskin. Estimasi ILO tahun 2009 menunjukkan bahwa PRT merupakan kelompok pekerja perempuan terbesar secara global dan terdapat sekitar 100 juta PRT di dunia, lebih kurang 6 juta di antaranya merupakan PRT migran dari Indonesia. Di Indonesia sendiri, ada sekitar 2,5 juta orang yang berprofesi sebagai PRT. Dari jumlah itu, 90 persen di antaranya perempuan.
Sekalipun jasa PRT sangat besar karena ia mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, dalam hal pengupahan, PRT merupakan kelompok pekerja yang dibayar paling rendah daripada sopir, tukang kebun, serta pengasuh orang tua jompo.
Frederick Engles dalam The Origin of the Family, Private Property, and State menyebutkan bahwa kerja perempuan menjadi tidak terlihat secara ekonomi karena berakar dari adanya pembagian kerja secara seksual di dalam rumah tangga dan masyarakat. Perempuan dianggap bertanggung jawab untuk kegiatan reproduksi, seperti melahirkan anak, mengasuh anak, dan mengurus rumah tangga. Sementara laki-laki diberi hak untuk kegiatan produksi di luar rumah.
Kerja Domestik
Perempuan yang sudah terpinggirkan dari kerja bernilai ekonomi karena pembagian kerja di rumah tangga akan semakin kesulitan mendapatkan kerja berupah secara layak jika pemerintah dan kita semua tidak memberikan penghargaan dan penghormatan pada kerja-kerja domestik.
Menurut Mubyarto, sesungguhnya perempuan tidak ada yang menganggur jika memasukkan kerja domestik sebagai pekerjaan. Bahkan, sejak tahun 1969, Margaret Benston dalam bukunya The Political Economy for Women tegas mengingatkan, sudah saatnya pekerjaan domestik dipikirkan secara lebih serius dalam setiap analisis pekerjaan ekonomi sehingga akhirnya tidak disepelekan menjadi status yang marjinal dan tidak eksis.
Sebagai sebuah pekerjaan, PRT sesungguhnya berhak atas THR. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur tidak ada pembedaan perlakuan antara pekerja tetap dan pekerja kontrak dalam hal pengupahan, termasuk THR.
Tanpa THR dan transpor pergi pulang yang diberikan kepada PRT, dapat dipastikan PRT enggan kembali bekerja kepada kita. Karena itu, alasan anak tidak bisa ditinggal, hendak menikah, atau mengurus orangtua adalah alasan klasik untuk tak mengatakan secara jujur bahwa ”saya enggan kembali karena tuan/nyonya tidak memberikan hak dan jaminan kepada saya”. Mari menghitung kontribusi besar yang telah diberikan PRT bagi aktivitas dan aktualisasi kita di publik. Sebab, tanpa ada yang mengerjakan pekerjaan domestik, sangat sulit bagi kita bekerja di ruang publik atau berkarier dengan sempurna.
Jika PRT pulang kampung saja, barulah dirasakan repotnya mengurus pekerjaan domestik itu. Atau, kita harus merogoh kocek dalam-dalam untuk biaya laundry, katering makanan, dan cleaning service rumah. Padahal, jika ada PRT, semua hal di atas akan dikerjakan oleh satu orang, yakni PRT.
Untuk itu, Lebaran ini seharusnya menjadikan kita agar lebih menghargai serta memanusiakan profesi PRT yang luar biasa besar jasanya bagi kita. Juga, seharusnya kita tidak perlu berhitung panjang dalam memberikan THR kepada mereka. Sebab, THR bukan hanya hak seorang pekerja, tetapi sekaligus penghargaan atas dedikasi mereka.
Ada baiknya jika kita kembali merenungkan pesan Tuhan bahwa termasuk orang yang mendustakan agama adalah orang yang menghardik anak yatim, tidak mau memberi makan fakir miskin, dan enggan menolong sesama. Memberikan apa yang semestinya menjadi hak PRT adalah bagian dari menjalankan pesan Tuhan itu. Selamat berlebaran. Mohon maaf lahir batin.
(Sumber: Kompas, 9 September 2010)
_ _ _
Tentang penulis:
Yulianti Muthmainnah
Peneliti di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Dosen Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (ITB-AD), Ketua PSIPP ITB-AD